Dahulu kala saat Kerajaan Deli masih bernama Kerajaan Haru, ada seorang puteri cantik jelita bernama Puteri Hijau, yang saking cantiknya memancarkan cahaya hijau dari tubuhnya. Ia memiliki 2 saudara laki-laki Mambang Yasid dan Mambang Khayali. Suatu hari Raja Aceh datang ingin meminang Puteri Hijau namun ditolak. Karena merasa tersinggung dan marah, Raja Aceh menghimpun pasukan kerajaannya untuk mulai menyerang Kerajaan Haru.
Saat itulah Mambang Khayali berubah jadi sebuah meriam, yang menembak pasukan Aceh tanpa henti. Lama-kelamaan meriam itu menjadi panas hingga akhirnya meledak, pecah dan terlempar. Mambang Khayali pun meninggal. Bagian depan pecahan meriam terlempar ke dataran tinggi Karo di dekat Kabanjahe (tus??! Take me there!), sedangkan bagian belakangnya terlempar ke Labuhan Deli yang lalu dipindahkan ke pekarangan Istana Maimun.
Selanjutnya karena semakin kalah, Mambang Yasid menyarankan adiknya untuk berpura-pura menerima pinangan Raja Aceh, dengan syarat Puteri Hijau diberikan keranda kaca tersendiri di dalam kapal yang akan membawanya ke Aceh. Permintaan itu disetujui dan Puteri Hijau pun berlayar ke Aceh. Saat itulah Mambang Yasid berubah menjadi naga. Ia mengibaskan ekornya untuk merusak ujung kapal, hingga terbuka ruangan untuk ia mengambil keranda kaca berisi Puteri Hijau. Sang naga membawa Puteri Hijau melalui sebuah terusan (sekarang Jl. Puteri Hijau Medan) dan memasuki Sungai Deli hingga akhirnya sampai di Selat Malaka. Menurut legenda, mereka kini berdiam di bawah laut dekat Pulau Berhala.
Sedangkan cerita versi sejarahnya…
Seperti yang telah gw tulis di postingan sebelumnya, Kerajaan Aceh menganggap Haru–Melaka adalah ancaman, sehingga pada tahun 1539 M Aceh mulai menyerang Kerajaan Haru. Saat itu Kerajaan Haru hanya dipertahankan oleh sebuah meriam besar yang dibeli dari orang Portugis (yang kemudian pecah menjadi Meriam Puntung). Lalu saat Sultan Haru tewas, Permaisuri Anchesin berlayar ke Melaka meminta bantuan Portugis dan Sultan Riau-Johor (menggunakan perahu berkepala naga). Singkat cerita, Haru tetap kalah dari Aceh saat ditaklukkan oleh Laksamana Gocah Pahlawan.
Hm kisah dongeng memang selalu lebih menarik. Percaya ga percaya, pada tahun 1995 Meriam Puntung (red. Puntung means Buntung in Batak, CMIIW) ini sempet hilang dari gubuk peristirahatannya, dan ditemukan di pinggir Sungai Deli. Padahal, pintu tempat persemayaman Meriam Puntung itu dalam keadaan terkunci. Tidak ada orang yang sanggup mengangkatnya, akhirnya beberapa kerabat kesultanan Deli datang dan berhasil membawanya kembali ke Istana Maimun dan dibuatkan pondok baru berbentuk rumah adat Karo.
Untuk masuk, per orang bisa bayar Rp 2000-3000 (buat masuk Istana Maimun juga segitu.. pinter-pinternya nawar) ke penjaganya atau dimasukkan ke kotak amal deket si meriam (Meriam Puntung tentunya, bukan Meriam Belina *halah*). Di meriam itu terdapat sebuah lubang. Penjaga disana mempersilahkan kita untuk mendengar suara dibalik lubang itu, suara air sungai (Deli) mengalir. Gw pun mencoba mendengarkan sambil membayangkan kalo gw Puteri Hijau.
Yang terdengar adalah suara mendengung. Iya sih, mirip suara air sungai, tapi setau gw dimana-mana pipa terbuka pasti bersuara kayak gitu. Inget pelajaran fisika dulu kan, tentang organa terbuka dan tertutup? Selama udara masih bisa keluar masuk pasti ada suara yang ditimbulkan. (There is explanation for everything, I love science).
Katanya, di daerah Deli tua ditemukan pesan Puteri Hijau seperti berikut, “jika ada wanita yang secantik diriku, maka dia pasti tidak sempurna.” (Entah kenapa gw teringat si Anna, sama-sama dari Medan pulak. Jangan-jangan lu keturunan Puteri Hijau na, sama narsisnya)