Saya sebenarnya orang Aceh, tapi Ayah mertua asli Minang. Kami berkesempatan untuk Pulang Basamo di Lebaran tahun ini dengan total rombongan 11 orang. Selama 5 hari 4 malam keliling Sumatera Barat, kami menginap di Maninjau semalam, Bukit Tinggi dua malam, dan Padang semalam terakhir. Untuk transportasi, kami menyewa 1 mobil Toyota HiAce beserta supirnya dengan tarif Rp.1,500,000/hari. Mobil dengan kapasitas 14 seat ini cukup nyaman buat rombongan kami yang kebanyakan orang tua dan ada anak kecil. Senangnya road trip lagi, seperti waktu tur Jawa Tengah akhir tahun lalu. Jadi kemana saja disana? Kenapa pilihannya 3 kota itu? Disini saya akan cerita perjalanan saya di setiap kotanya.
Maninjau
Jika adik memakan pinang
Makanlah dengan sirih yang hijau
Jika adik datang ke Minang
Jangan lupa datang ke Maninjau
– Pantun Bung Karno
Maninjau adalah sebuah daerah di kabupaten Agam, yang terletak sekitar 140km dari Padang. Tempat ini terkenal dengan danau dan ikan bada masiak nya. Kampung halaman Ayah mertua saya berada disana. Highlight-nya tentu saja Danau Maninjau yang luasnya sekitar 100km2, terluas ke-2 di Sumatera Barat dan ke-11 se-Indonesia. Danau ini merupakan sebuah kaldera, yang terbentuk dari letusan gunung berapi ribuan tahun silam. Ciri khas danau kaldera dibanding danau biasa adalah bentuknya yang dikelilingi dinding, contoh lainnya Danau Toba.
Kami menginap di Lake Maninjau Inn yang berada persis di samping danau, sehingga bisa memandang cantiknya telaga tersebut dari dekat. Tidak bosan-bosan saya melihat indahnya pemandangan dari jendela kamar maupun balkon penginapan. Sayangnya permukaan air dipenuhi banyak keramba yang dipasang oleh para nelayan Minang untuk menangkap ikan. Saat pertama kali kami tiba di wisma tersebut, bau amis langsung menusuk ke dalam hidung. Namun setelah beberapa jam disana, indera penciuman sepertinya sudah terbiasa dan bau itu tidak terlalu mengganggu lagi.
Keesokan paginya setelah checkout, kami mampir sebentar ke Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka yang berjarak 9km dari penginapan. Museum nya berbentuk rumah tradisional Minangkabau, yang merupakan rumah nenek nya Buya Hamka dimana Beliau tinggal sewaktu kecil. Tidak ada biaya masuk tapi pengunjung bisa memberikan sumbangan seikhlasnya jika mau. Penjaganya seorang bapak tua yang berulang kali mengeluh betapa tidak pedulinya warga Indonesia bahkan warga Sumatera Barat sendiri, dibandingkan dengan Malaysia yang katanya memugar dan membangun museum ini. Lama kelamaan capek juga dengernya hehe. Isi museum nya sendiri berupa replika kamar tidur dan ruang tamu lengkap dengan furniture nya. Selain itu ada juga foto-foto dan buku-buku yang berkaitan dengan sastrawan dan ulama Sumatera Barat ini. Buya Hamka yang bernama asli Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) lahir pada tahun 1908 dan meninggal pada tahun 1981 pada umur 73 tahun. Semasa hidupnya Beliau aktif di bidang pendidikan, keagamaan dan politik. Arti kata-kata Buya sendiri sepertinya sapaan untuk tokoh agama seperti halnya kiai. Dari dulu orang Minang memang terkenal kuat pendidikan Islam nya, dan banyak tokoh-tokoh nasional yang lahir disana.
Selanjutnya kami menuju Bukittinggi dengan melewati Kelok 44. Disebut juga Kelok Ampek Puluh Ampek oleh orang lokal, jalanan berbukit ini berjumlah 44 belokan tajam. Di setiap tikungannya diberi angka 1 sampai 44 dan sepanjang jalan ada papan tulisan 99 nama Allah (Asmaul Husna). Belokannya sangat curam dan membuat jantung deg-degan, apalagi saat ada lawan mobil dari arah sebaliknya. Tapi di balik tanjakan maut ini, terdapat pemandangan Danau Maninjau dari atas yang sangat indah. Di tengah jalan, tepatnya antara Kelok 36/37, kami berhenti di salah satu warung yang ada tempat parkir mobil HiAce kami yang besar tanpa mengganggu jalanan, untuk menikmati pemandangan tanpa spot jantung sambil ngemil dan menyeruput kopi hangat.
Danau Maninjau dilihat dari Kelok 44 |
Sesampainya di ujung Kelok 44 (PHEWW!), kami berkunjung ke Puncak Lawang. Salah satu tempat wisata dataran tinggi di Ranah Minang ini rimbun dengan pohon pinus dan ada area luas terbuka dimana kita bisa melihat biru nya Danau Maninjau dari atas. Bukit ini memiliki ketinggian 1210 mdpl, hampir sama dengan tempat wisata Umbul Sidomukti yang saya datangi tahun lalu.. Udara disana cukup dingin dan anginnya bertiup kencang. Tiket masuknya kalau tidak salah Rp.10,000/orang. Disana terdapat banyak penjual makanan dan mainan anak-anak. Kami tidak berlama-lama disana, karena ingin mengejar makan siang di Bukittinggi.
Bukittinggi
Makan siang nya ternyata menjadi makan sore, karena jalanan di Sumatera Barat ramai dan macet sekali di saat Idul Fitri. Selain itu Ibu Mertua bersikeras untuk kami makan di Gulai Itiak Lado Mudo di Ngarai Sianok. However it was really worth the wait. Itik sambal hijau ini enak sekali. Membayangkannya sekarang saja sudah bikin lidah berliur. Biasanya restoran ini menyediakan juga itiak lado mudo yang beku (frozen) untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Rencananya kami ingin memesan dan membelinya nanti sehari sebelum pulang, tapi ternyata mereka tidak sempat untuk membuatkannya karena staf yang terbatas di libur lebaran.
Ngarai Sianok sendiri adalah lembah jurang sedalam 100m yang sedikit berbelok dan ditumbuhi oleh tumbuhan dan tanaman yang hijau. Lembah ini lebih indah jika dilihat dari atas. Untungnya ada Taman Panorama, tempat wisata untuk melihat pemandangan Ngarai Sianok dengan latar Gunung Singgalang. Tamannya sendiri cukup asri untuk duduk-duduk dan banyak toko menjual barang-barang souvenir Minang. Bagi yang takut monyet seperti saya, hati-hati ya karena disini banyak sekali monyet berkeliaran. Biaya tiketnya Rp.10,000/orang sudah termasuk Lobang Jepang. Sesuai namanya, goa sedalam 40meter di bawah permukaan tanah ini dibangun oleh pemerintah Jepang pada tahun 1944 sebagai penjara dan tempat eksekusi. Kebayang dong bagaimana spooky-nya lubang ini, tapi pemerintah setempat sudah memugarnya dengan baik dan memasang lampu-lampu penerangan.
Ngarai Sianok dan Gunung Singgalang dilihat dari Taman Panorama |
Jalan-jalan ke Bukittinggi tidak afdol kalau belum berkunjung ke icon kota nya yang terkenal yaitu Jam Gadang. Menara jam setinggi 65meter ini dibangun pada tahun 1926 dan memiliki jam berukuran besar di keempat sisinya dengan huruf romawi. Ada yang unik dengan angka 4 nya, dimana tertulis dengan IIII dan bukan IV seperti angka 4 romawi pada umumnya. Mesin untuk menggerakkan jam ini konon hanya ada 2 unit di dunia, yaitu Jam Gadang sendiri dan Big Ben di London, Inggris. Atapnya sudah berubah beberapa kali sesuai pemerintahannya, yaitu setengah bola seperti gaya Eropa pada jaman kolonial Belanda, bentuk padoga waktu penjajahan Jepang, dan akhirnya direnovasi menjadi atap Bagonjong khas Minangkabau setelah Bangsa Indonesia merdeka. Jam Gadang yang dalam bahasa Minang berarti Jam Besar ini terletak di sebuah area terbuka yang luas dan menjadi tempat berkumpul warga lokal. Di sekelilingnya ada shopping mall, pasar, pertokoan dan tempat makan. Jadi selagi ibu-ibu sibuk belanja kain bordiran, mukena dan songket, para Bapak dan anak bisa menikmati keramaian di taman sekitar Jam Gadang, seperti yang kami lakukan (padahal saya ibu-ibu juga tapi belum tertarik belanja kain hehe). Di area tersebut ada banyak penjual souvenir dan mainan anak dari yang tradisional seperti perahu kretek sampai yang agak modern seperti bubble.
Tidak jauh dari Jam Gadang, terdapat sebuah tempat wisata sejarah yaitu Fort de Kock. Benteng yang dibangun di abad ke-19 pada jaman penjajahan Belanda ini masih dapat dilihat sampai sekarang, dan sudah direnovasi menjadi taman kota yang asri. Letaknya di satu kawasan dengan Kebun Binatang Bukittinggi dan Museum Rumah Adat Baanjuang. Persis di depan pintu masuk benteng terdapat rumah makan Family Benteng Indah yang terkenal dengan Ayam Pop nya yang nikmat. Masakan ayam putih ini mirip ayam rebus Hainan khas Cina Peranakan, tapi ayam nya digoreng sedikit dengan bumbu spesial dan dimakan dengan mencocolnya di sambal merah.
Buat ibu-ibu yang suka berburu kain sulaman asli Sumatera Barat, kalau belum puas belanja di Pasar Bukittinggi bisa coba mendatangi langsung rumah salah satu penjahit bordir Minang bernama Sulaman Hj Rosma. Produk-produk sulamannya seperti mukena, tas, dompet, dan kebaya dipajang dan dijual di rumahnya itu. Memang agak sedikit mahal tapi kualitasnya bagus dan terkenal di antara turis melayu (Malaysia dan Singapore). Lokasinya di Kampung Baso, sekitar 10km dari Bukittinggi ke arah Kota Payakumbuh.
Melewati Kota Payakumbuh sedikit, di Kabupaten Lima Puluh Kota, ada sebuah tempat wisata menawan yaitu Lembah Harau. Pemandangan alam ngarai ini indah sekali dimana persawahan diapit tebing-tebing kapur yang tinggi, mirip Rammang-Rammang di Makassar dan Tam Coc di Vietnam, minus river boat riding. Banyak juga yang menyebutnya Yosemita -nya Indonesia. Di area ini ada beberapa air terjun tapi yang paling ramai dikunjungi adalah yang terletak di jalur utama. Apalagi di saat libur lebaran, kolam air terjun nya penuh seperti cendol. Di salah satu tebing ada spot yang namanya Batu Echo dimana katanya kalau kita berdiri dan berteriak di posisi batu ini, suaranya akan bergema. Saya ikut turun mencobanya tapi kok tidak terdengar apa-apa hehe mungkin karena Lembah Harau terlalu ramai pengunjung pada saat itu.
Lembah Harau |
Jika sudah sampai ke Lembah Harau, lanjut sedikit ke Kelok 9. Jalanan dengan tikungan tajam berjumlah sembilan ini merupakan jalur utama antara Sumatera Barat dan Riau. Ruasnya yang sangat sempit dan menyeramkan di tepi jurang membuat perjalanan antar provinsi menjadi tersendat, sehingga pemerintah berinisiasi untuk membuat ruas jalan baru untuk menampung banyaknya jumlah kendaraan. Maka dibangunlah jembatan layang pada tahun 2003 dan diresmikan pada tahun 2013. Hmm lama juga ya membangun jembatan itu, tapi hasil karya anak bangsa ini luar biasa. Sebenarnya ini bukan tempat wisata, tapi pemandangannya cantik sekali karena jembatan yang meliuk-liuk ini berada di lembah dan dikelilingi beberapa bukit, jadi banyak turis yang kesana. Ah saya semakin jatuh cinta dengan indahnya Ranah Minang ini.
Kelok 9 |
Lalu dimana tempat makan yang enak di sekitar Payakumbuh? Cobalah Pongek OR Situjuah. Pongek atau Pangek adalah masakan khas Minang berupa gulai nangka, OR adalah inisial nama pemiliknya dan Situjuah adalah nama daerahnya. Tentunya tidak hanya menu Pongek saja disana tapi ada juga makanan traditional Minangkabau lainnya seperti lado mudo, dendeng batokok, ayam gulai dan dessert spesial ketan sarikaya. Di belakang restoran adalah area persawahan jadi kita bisa menikmati santapan dengan pemandangan sawah.
Berjalan ke arah tenggara dari Bukittinggi, terdapat Batusangkar yang terkenal sebagai kota budaya karena banyak ditemukan peninggalan sejarah kerajaan Pagaruyung. Kerajaan islam ini diperkirakan berdiri tahun 1500 oleh Adityawarman yang merupakan raja pertama. Replika istana kerajaan tersebut dibangun ulang tidak jauh dari lokasi aslinya setelah gedungnya terbakar. Istana yang bernama Istano Basa Pagaruyung ini sekarang menjadi tempat wisata turis. Disini kita bisa menyewa dan mengenakan baju adat Minang sambil berfoto di sekeliling gedung istana yang atapnya berbentuk seperti atap Rumah Gadang khas Minangkabau. Bangunannya terdiri dari 3 lantai yang memajang barang-barang, furniture dan hiasan tradisional Minang.
Dari Batusangkar sebenarnya sudah dekat ke Danau Singkarak, sekitar 20km. Sayangnya kami tidak sempat mengunjungi danau terluas di Sumatera Barat ini, karena jalanan di Ranah Minang saat libur lebaran serba macet dan kami takut kemalaman sampai di Padang. Perjalanan dari Batusangkar menuju Padang di awal-awal melewati jalan dengan pemandangan bukit dan lembah yang sangat cantik. Disana ada Nagari Pariangan, yang terletak di kaki Gunung Marapi dan katanya salah satu desa terindah di dunia.
Tempat lainnya yang menarik adalah Air Terjun Lembah Anai yang terletak hanya 10km dari Kota Padang Panjang. Di daerah itu banyak waterpark dan resort yang airnya mengalir langsung dari sungai di lereng gunung yang air dan udaranya sejuk sekali. Air Terjun Lembah Anai berada di pinggir jalan utama antara Padang Panjang dan Padang, yang selalu ramai dikunjungi, susah parkirnya dan membuat macet. Jaraknya dari Kota Bukittinggi adalah 30km.
Selama di Bukittinggi kami merasakan sensasi menginap di rumah tradisional Minangkabau. Nama penginapannya adalah Rumah Gadang Nantigo, yang bisa di-book lewat Airbnb. Rumah nya terdiri dari 3 bagian: sisi kanan dan kiri adalah rumah panggung kayu bergaya kuno untuk para tamu dengan 6 kamar tidur di masing-masing sisi, sedangkan bagian tengah berupa bangunan semen biasa berisi kamar si pemilik rumah, dapur dan kamar mandi untuk sharing dengan para tamu. Kami booking satu sisi rumah panggung di sebelah kanan. Setiap kamarnya kecil, cuma ada 1 double bed dan 1 meja rak. Tapi ruang tengah bersamanya cukup luas, ada beberapa meja, kursi dan tikar di lantai untuk duduk-duduk dan nonton tv. Penginapan ini sangat cocok untuk rombongan besar seperti Pulang Basamo atau individual yang tidak masalah dengan sharing fasilitas. Tidak ada AC atau kipas angin karena udaranya masih cukup dingin. Mereka menyediakan kopi, teh, gula, air minum (termasuk air panas) dan setiap pagi disediakan pisang goreng dan nasi ketan untuk sarapan, salah satu makanan khas Sumateta Barat. Lokasinya berada di dalam pemukiman penduduk dekat sawah-sawah dengan alam yang segar, bukan di tengah kota. Saya sangat merekomendasikan penginapan ini dan ingin menginap kembali disana jika berlibur ke Bukittinggi lagi.
Kalau mau menjelajahi Ranah Minang tapi tidak terlalu ingin berpindah-pindah penginapan memang sebaiknya menjadikan Bukittinggi sebagai center point. Dengan menginap beberapa malam disana, bisa melakukan day trip ke kota/kabupaten Sumatera Barat di sekitarnya. Banyak sekali spot menarik di dalam radius 50km dari Bukittinggi. Malam terakhir sebelum pulang, baru menginap di Padang agar tidak khawatir ketinggalan pesawat.
Padang
Waktunya membeli oleh-oleh khas Minang. Toko souvenir yang terkenal di Padang adalah Kripik Balado Shirley, yang menjual berbagai macam makanan tradisional. Yang tadinya ga niat beli banyak, pasti keluar toko dengan menenteng setidaknya 1 kardus Shirley.
Di seberang toko Shirley ada Museum Adityawarman yang tamannya luas, asri dan ada kids playground nya. Tiket masuknya murah sekali cuma Rp.3000/orang. Bangunannya sangat bagus dan bersih. Isi museum nya cukup informatif menjelaskan sejarah, adat dan budaya Minangkabau.
Museum Adityawarman |
Berjalan-jalan ke Ranah Minang yang kental agama Islamnya, tidaklah lengkap jika belum berkunjung ke Mesjid Raya Sumatera Barat. Sebenernya tidak direncanakan juga sih, kebetulan mobil rental kami melewati mesjid ini, dan kami segera request untuk berhenti disana saat melihat atapnya yang unik. Bentuknya seperti atap bagonjong khas Minangkabau, bukan berupa kubah seperti mesjid kebanyakan. Mesjid terbesar di Sumatera Barat ini mulai dibangun tahun 2007 secara bertahap dan bahkan belum selesai sampai sekarang. Mesjid megah ini sudah dapat digunakan untuk beribadah tapi fasilitas airnya masih sangat terbatas.
Selain berburu kripik balado di Ranah Minang, kami juga berburu durian. Setelah sehari sebelumnya makan buah durian sampai puas di salah satu warung pinggir jalan antara Anai dan Padang, di hari terakhir di Sumatera Barat kami mencoba es durian di resto Iko Gantinyo yang luar biasa lezat. Selain es dan minuman durian, mereka juga menyediakan menu makanan sate (padang) dan pempek yang juga nikmat. Keluar dari sini, semua orang di rombongan tampak bahagia. “Terserah deh habis ini mau jalan kemana, yang jelas gw sudah puas makan sop durian di Padang dan siap pulang”, haha.
Waktu itu tinggal 2 jam lagi sebelum kami harus ke bandara untuk pulang ke Jakarta. Semua sudah checkout dari hotel dan koper-koper sudah tersusun manis di dalam mobil rental. Kami meminta sang supir untuk membawa kami muter-muter Kota Padang selama 2 jam tanpa perlu turun mobil. Akhirnya dia membawa kami menyusuri Teluk Bayur. Teluk ini sudah lama dijadikan sebagai pelabuhan keluar masuk Sumatera Barat sejak jaman penjajahan Belanda tahun 1800an sampai sekarang walaupun sekarang sudah tidak seramai dulu sejak adanya Singapura. Setelah berhari-hari memandang bukit, lembah, sungai dan danau, kali ini saya disuguhi pemandangan laut yang indah. Ah lengkap sudah, waktunya pulang.
Teluk Bayur |
Selamat tinggal teluk bayur permai
Daku pergi jauh ke negeri seberang