Skip to content

Road Trip Jawa Tengah: Ambarawa

Ini adalah lanjutan seri postingan mengenai road trip saya dan keluarga ke Jawa Tengah akhir Desember lalu (ya ampun sudah 6 bulan belum juga move on) setelah Semarang, Bandungan dan Solo. Dari Solo, kami menuju ke Dieng melewati Ambarawa. Sebenarnya waktu dari Bandungan ke Solo kami melewati Ambarawa juga tetapi tidak sempat mampir karena sudah kesorean.

Berangkat dari Solo jam 8 pagi, kami tiba di Ambarawa sekitar jam 10. Tujuan pertama dan highlight hari itu adalah Museum Kereta Api (KA) Ambarawa. Niatnya sih pengen naik Kereta Wisata yang katanya melewati Rawa Pening dengan pemandangan gunung yang bagus banget, tapi ternyata hanya beroperasi Sabtu Minggu, sedangkan saya kesana hari Jumat (iyah, ‘hoki banget’). Buat yang mau naik kereta wisata di museum ini, ada 2 rute yang disediakan yaitu Wisata Reguler Kereta Diesel Ambarawa-Tuntang dan Wisata Sewa Kereta Uap Ambarawa-Tuntang dan Ambarawa-Bedono. Bedanya apa? Wisata Reguler bisa dinikmati dengan membeli tiket seharga Rp.50,000/orang dengan 3 jadwal berangkat per hari yaitu pukul 10:00, 12:00 dan 14:00. Jalur Ambarawa-Tuntang ditempuh kurang lebih 1 jam bolak-balik dan diberi waktu beberapa menit untuk foto-foto di Stasiun Tuntang sebelum balik ke Ambarawa. Karena kapasitas yang terbatas, yaitu 120 orang saja sekali trip, siap-siap kehabisan tiket kalau tidak mulai mengantri jam 8 pagi saat museum dibuka.

Berbeda dengan Wisata Reguler, tiket Wisata Sewa tidak dapat dibeli perseorangan dan jenis keretanya juga beda yaitu ada Kereta Uap yang lebih kuno daripada Kereta Diesel. Kereta harus disewa seluruhnya dengan kapasitas 40 orang per gerbong. Rutenya ada Ambarawa-Tuntang, yang sama dengan Wisata Reguler, dan Ambarawa-Bedono yang menanjak dan melewati perbukitan. Untuk rute Ambarawa-Tuntang, harga sewa nya adalah 10 juta untuk 1 gerbong, 12,5 juta untuk 2 gerbong dan 15 juta untuk 3 gerbong. Wow mahal ya! Wisata Sewa ini memang diperuntukkan bagi keluarga besar, reunian atau acara kantor. Tapi kalau dihitung-hitung, 15 juta bagi 120 orang adalah Rp.125,000/orang. Rasanya cukup masuk akal harga segitu bisa nyobain Kereta Uap kuno dengan pemandangan cantik sambil reunian. Harganya mirip-mirip dengan harga tiket masuk permainan anak-anak di mall Jakarta ya kan. Untuk rute Ambarawa-Bedono, harga sewanya adalah 15 juta untuk 1 gerbong dengan waktu yang lebih lama yaitu 3 jam pulang pergi.

Harga tiket Kereta Wisata Ambarawa

Tampak seru ya. Saya selalu suka wisata kereta begini. Di Korea saya pernah naik Wisata Kereta Laut atau Sea Train di Gangneung, dimana keretanya berjalan sepanjang pinggir laut, keren dan romantissss banget! Ada juga Seomjingang Train di Gokseong dimana keretanya berjalan melewati sungai dan pegunungan. Semoga next time saya sempat nyobain salah satu Wisata Kereta Ambarawa ini, pengen tau apakah Wisata Kereta di Indonesia tidak kalah bagus dengan di luar negeri khususnya Korea hehe.

Ini waktu nyobain Sea Train di Korea, featuring my friend Anda. Asik banget kaaann rel dan stasiun keretanya persis di pinggir laut

Walaupun gagal naik Kereta Wisata, saya dan tim The Lost Wanderer (a.k.a Suami dan anak kami Nad) enjoy banget mengeksplorasi museum yang tertata rapi ini. Ada ruangan yang berisi sejarah museum ini dari yang dulunya digunakan sebagai stasiun KA oleh penjajah Belanda kemudian dijadikan museum oleh Gubernur Jawa Tengah pada tahun 1978 sampai akhirnya dilakukan revitalisasi oleh PT. Kereta Api Indonesia yang bekerja sama dengan the Cultural Heritage Agency of the Netherlands (bagian dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Sains, Belanda) pada tahun 2014. Nah gitu dong Belanda, tidak melupakan negara-negara jajahannya, apalagi Indonesia yang cukup lama dijajah, tolong bantu kami melestarikan peninggalan budaya dan sejarah (tapi ini nulisnya dalam Bahasa Indonesia, emang orang Belanda pada ngerti?), menciptakan tempat-tempat wisata yang mendidik, bukan hanya komersial seperti mall. Kadang saya iri dengan negara bekas jajahan Inggris atau Perancis, karena mereka lebih dipedulikan dan dibantu untuk maju.

Koleksi Lokomotif Uap


Anyway, di museum ini ada koleksi lokomotif uap yang sudah tidak digunakan, beberapa alat dan perabotan antik seperti telepon antik, peralatan telegraf Morse, bel antik, dan setting-an peron jaman dulu. Dijamin semua spot nya instagrammable banget! Beberapa penjelasan ditulis dalam dua bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, jadi cukup friendly buat dikunjungi turis asing. Satu area unik lainnya adalah tulisan besar I AMBARAWA seperti tulisan I AMSTERDAM di Belanda sana. Bedanya kalau I AMSTERDAM warna merah putih, sedangkan I AMBARAWA warna putih kuning. Museum yang buka setiap hari dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore ini cukup luas dengan taman dan bunga yang tertata rapi. Keliatan sih kalau museum ini beneran diurus. Harga tiket masuknya cuma Rp.10,000/dewasa dan Rp.5000/anak-anak.

I AMBARIKA. Suwer, ga sengaja outfit saya hari itu bisa matching dengan tulisan I AMBARAWA!

Dari Museum KA Ambarawa, kami mampir ke Palagan Ambarawa yang lokasinya berdekatan. Monumen ini dibangun untuk memperingati pertempuran Ambarawa pada Desember 1945 saat Tentara Keamanan Rakyat (TKR) berperang melawan sekutu Belanda yang sedang menduduki Ambarawa dan akhirnya TKR menang. Di bagian depan monumen ini terdapat museum kecil yang berisi penjelasan mengenai Pertempuran Ambarawa beserta pakaian dan senjata yang digunakan TKR dan musuh (Belanda dan Jepang). Sedangkan di area tengah ada beberapa patung pejuang, tank, truk, meriam, bekas kereta api dan pesawat tempur Belanda. Di bagian belakang yang rimbun dengan pepohonan ada beberapa alat bermain untuk anak-anak seperti perosotan, jungkat-jungkit dan ayunan. Sepertinya tempat ini ramai dikunjungi warga dengan keluarga di sore hari. Walaupun mainannya sudah agak berkarat disana-sini, tapi lumayan deh Nad bisa bermain sambil Bunda nya melihat sekeliling. Biaya masuknya Rp.5000/orang saja (dan kalau tidak salah gratis buat anak-anak).

Tulisan di bekas Gerbong Kereta: “Awas andjing NICA. Merdeka ataoe mati. Hantjoerkan moesoeh kita”

Tidak jauh dari sana ada tempat wisata religi umat Kristiani yaitu Gua Maria Kerep. Walaupun saya bukan beragama Kristen, tapi saya cukup kagum dengan patung Maria yang besar sekali dengan background pemandangan gunung yang misty. Awalnya saya kira disitulah lokasi Gua Maria Kerep, tapi ternyata di seberang jalan patung besar itu. Di belakang gereja yang asri dengan rerumputan dan pohon rindang, tersembunyi gua buatan yang di dalamnya ada patung kecil Bunda Maria dimana para peziarah menyalakan lilin dan berdoa di depannya. Meskipun bukan gua alami seperti Gua Maria Tritis di Gunung Kidul, tapi area kompleks ini cukup hening dan damai.

Patung Bunda Maria di Gua Maria Kerep Ambarawa

Sesudah dari Gua Maria Kerep tadinya berpikir mau makan siang di Rawa Pening (Danau Bening), yang katanya banyak rumah makan apung di atas air. Tapi saat itu jam 11.45 kami semua masih belum lapar dan kalau berkendara ke Rawa Pening artinya kami malah balik lagi ke arah Solo dan menjauhi Dieng. Jadinya batal deh ke Rawa Pening. Sebenarnya ada satu tempat wisata lagi di Ambarawa yaitu Benteng Wilem I (atau disebut juga Benteng Pendem) yang pernah dijadikan tempat syuting film Soekarno. Tapi browsing-browsing gambarnya di internet kok tampak tidak terurus dan seram, jadi saya was-was kalau bawa anak kecil kesana hehe. Jadi total sekitar 2 jam berkeliling kota kecil Ambarawa ke 3 tempat wisata di atas, tapi sangat berkesan.

Biar tidak terlalu malam juga nyampenya nanti di Dieng, kami langsung melanjutkan perjalanan ke arah Wonosobo melewati Temanggung. Di Temanggung kami menemukan tempat makan cihuy (kalau kata Nad si penggila Ipin Upin: seronok!) di pinggir jalan raya bernama Pondok Lesehan Kampung Sawah. Tempatnya nyaman banget dengan pemandangan sawah hijau yang luas dan ada kolam ikan yang besar. Awalnya kami duduk di salah satu pondok lesehan di atas sawah, tapi tiba-tiba hujan turun deras tampias ke dalam pondok jadi kami pindah ke area depan yang tidak persis di atas sawah tapi tetap bisa ngeliat persawahan dan duduk lesehan juga. Lucu juga ya kalau dipikir, saya itu dulu 15 tahun hidup di Aceh yang mudah sekali mendapatkan pemandangan sawah dimana-mana, bahkan sering main ke sawah milik Nenek di kampung tapi tidak terlalu mengapresiasi indahnya sawah. Sekarang melihat sawah tergolong aktivitas langka dan dinikmati sekali.

Ada yang sibuk main susun-susun tisu. Children are really able to have fun anywhere anytime, aren’t we jealous of them?

Di restoran itu ada juga ayunan untuk anak-anak, duh Nad senang sekali ngajakin main terus padahal Ayah Bunda nya sudah kelaparan tak terhingga. Untung tiba-tiba hujan turun jadi Nad mau berhenti main dan tidak duduk manis sambil makan. Saya mesen tongseng jamur sesuai rekomendasi beberapa review di internet sedangkan suami mesen ikan penyet. Mungkin bagi orang lain enak, tapi ternyata tongseng jamur tidak cocok di lidah saya, malah saya lebih ngiler melihat menu yang dimakan suami. Memang rumput tetangga selalu lebih hijau. Harga makanannya reasonable lah tidak terlalu mahal. Di restoran yang sangat cocok jadi rest area ini kami makan, sholat dan beristirahat sejenak sebelum lanjut ke Dieng.

Bagaimana perjalanan kami di Dieng? See you in the next post of Road Trip Jawa Tengah series! 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published.