Skip to content

Road Trip Jawa Tengah: Dieng

Ini adalah lanjutan seri postingan Road Trip Jawa Tengah. Setelah hari sebelumnya menginap 2 malam di Solo lalu jalan-jalan sebentar di Ambarawa, kami melanjutkan perjalanan ke Wonosobo lalu ke Dieng.

Trip ke Dieng ini sebenarnya adalah perjalanan yang tertunda. Saya dan Suami sebelumnya pernah planning trip ke Dieng pada bulan Desember 2013. Sudah booking transportasi dan penginapan dari jauh-jauh hari, tapi gagal berangkat karena saya hamil muda. Akhirnya kami jadi ke Dieng tiga tahun kemudian di bulan Desember 2016 dengan satu personil tambahan yang tiga tahun lalu ada di dalam kandungan hehe.

Sebelum naik ke Dataran Tinggi Dieng, kami mampir dulu di Kota Wonosobo buat membeli salah satu makanan khas sana yaitu Mie Ongklok Pak Muhadi yang terkenal dengan Mie Ongklok dan Sate Sapi. Mie Ongklok berisi campuran mie, irisan kol dan daun bawang disiram kuah dan bumbu kacang, dengan hidangan pelengkap Sate Sapi, yumm! Karena kami baru late lunch dan ga sanggup buat makan lagi di tempat, jadi Mie Ongklok dan Sate Sapi nya dibungkus aja buat makan di homestay di Dieng nanti. Tadinya mau dimakan buat ‘snack’ sore, eh ternyata kami baru sampai di homestay sekitar pukul 6 sore, hujan deras, males keluar lagi, dan di sekitaran homestay tidak ada tempat makan. Untung sudah bungkus makanan tadi.

Jalanan naik menuju Dieng berkelok tepi jurang dan semakin sore semakin berkabut, jadi harus super hati-hati dan kalau bisa jangan terlalu sore kesananya. Rencana awal di Dieng adalah 2 malam, malam pertama menginap di dekat Bukit Sikunir untuk besok paginya melihat sunrise, dan malam kedua menginap di area pusat wisata Dieng. Bukit Sikunir lumayan jauh dari pusat wisata Dieng. Kalau menginap di area pusat wisata Dieng harus mulai berangkat jam 3 pagi untuk mengejar sunrise di Bukit Sikunir. Sedangkan kami yang menginap di Homestay Cahaya Sikunir di Desa Sembungan, desa tertinggi di Pulau Jawa, bisa mulai berangkat jam 4 pagi. Penjaga homestay sempet menawarkan apakah kami butuh guide untuk pendakian esok pagi, tapi kami bilang akan jalan sendiri saja (pede banget!). Homestay nya sudah masuk dalam kawasan Bukit Sikunir jadi harus bayar tiket Rp.10,000/orang. Awalnya kami bete, ini apa-apaan sih baru mau check-in kok sudah dipalak, tapi ternyata memang valid 😛

Kami tidak kesulitan bangun esok subuhnya karena dari jam 8 malam sebelumnya sudah tidur haha abis ga bisa ngapa-ngapain juga, sinyal internet susah dan sinyal TV di kamar juga tidak ada (TV nya sih ada tapi ga bisa nonton haha sama aja). Ada sih TV di ruang bersama tapi males keluar kamar, pengennya gelogeran di kasur, tapi kan ga enak tidur-tiduran di ruang TV di depan tamu-tamu lain. Anyway, dari homestay kami berjalan ke Basecamp Bukit Sikunir yang jaraknya hanya sekitar 600 meter. Ga tau juga ya kenapa waktu itu memilih berjalan kaki saja daripada membawa mobil, mungkin karena males nanti cari parkir nya lagi, baik pas di Basecamp maupun pas balik ke homestay lagi. Homestay nya sendiri sih bagus tapi tempat parkir nya tidak terlalu besar, jadi bisa parkir di pinggir jalan. Semua homestay di Dieng rata-rata gitu sih. Review homestay lengkap nya nanti di next post ya. Ternyata parkiran di Basecamp besar, bahkan banyak bis yang membawa turis kesana. Tapi ga nyesel juga sih ga bawa mobil, karena udaranya fresh banget buat berjalan kaki, terutama di jalan baliknya dengan pemandangan Telaga Cebong, danau yang bentuknya mirip kecebong.

Jalanan antara Basecamp dan Homestay Cahaya Sikunir di pinggir Telaga Cebong


Di Basecamp ini kami sempet labil luar biasa, karena tiba-tiba hujan turun (lagi). Sudah pasti 99% the golden sunrise tidak akan kelihatan. Tapi bukan soal sunrise yang kami permasalahkan. Saya bingung dan takut membawa anak kami Nad yang masih berumur 2.5 tahun naik bukit di pagi buta di tengah hujan dan angin dingin yang kami tidak tau medannya di depan sana gimana. Saya akan merasa bersalah banget kalau sampai dia sakit dikarenakan keinginan traveling saya sendiri, so selfish. Kami sempet balik ke warung tempat penyewaan jaket dimana si suami nyewa jaket, niatnya mau balikin jaket yang disewa lalu pulang tanpa jadi naik ke atas, tapi si penjaga warung memberi kami semangat kalau jalan naiknya ga susah, sayang kalau tidak naik walaupun ga dapet sunrise nya blabla… dan akhirnya memotivasi kami untuk naik lagi. Mungkin itu salah satu kekurangan tidak menyewa guide, was-was dengan jalan yang akan ditempuh seperti apa, dan tidak ada motivator yang menyemangati hehe.

Hiking sambil gendong anak biar kurus!

Di awal-awal jalur pendakian masih ada warung-warung kecil di kiri kanan. Kami sempet mampir di 2 warung untuk makan gorengan dan minum teh hangat, sampai akhirnya sinar matahari sudah agak muncul dan hujan sudah reda. Saya sudah ga peduli mengejar sunrise, biarlah terlambat asal kami sampai di atas sana dan Nad tetap dalam keadaan nyaman, aman, tentram. Salah satu yang membuat saya cemas tadinya dan hampir memutuskan untuk batal naik adalah karena saat itu Nad tampak diam dan tidak ceria seperti biasa. Saya takut banget dia kedinginan atau sakit, padahal mungkin dia emang agak ngantuk aja dan males-malesan, kan masih gelap Bun! Seperti halnya Superman, Nad jadi lebih semangat saat sinar matahari mulai muncul, bahkan dia enjoy aja naik bukit. Yaiyalah enjoy, wong digendong muluk, yang meringis Ayah Bunda nya haha. Tapi ada beberapa kali dimana Nad jalan sendiri terutama di anak tangga yang tidak terlalu tinggi, dan tentunya dipegangin sama kami. Banyak yang berpapasan dengan kami salut dan memberi semangat, bahkan untuk diri mereka sendiri.  “tuh liat anak kecil aja bisa naik gunung, ayo semangat!” Saya sangat bersyukur kami tidak jadi batal naik dan tetap melanjutkan pendakian, karena setelah sampai di atas, view nya baguuusssss banget, even without the golden sunrise.

Akhirnya sampai juga di puncak Bukit Sikunir

Pulang dari mendaki Bukit Sikunir, kami sarapan pop mie (makanan wajib di sejuknya Dieng haha), mandi air hangat dan istirahat di homestay sampai sekitar jam 10. Setelah itu kami check-out dan mulai turun dari Desa Sembungan menuju pusat wisata Dieng. Tujuan pertama adalah Kawah Sikidang, karena memang jalannya melewati tempat itu. Jadi di jalan saya melihat plang panah dengan tulisan kecil ke Kawah Sikidang. Jalan masuknya agak kecil dan bertanah, seperti nya ini pintu masuk Kawah Sikidang dari belakang. Di parkiran hanya ada mobil-mobil pribadi, tidak ada bus rombongan wisata, tapi di dalamnya banyak sekali rombongan wisata, jadi saya asumsi ini bukan jalur masuk yang resmi. Selain itu tidak ada loket khusus untuk masuk Kawah ini, penjual tiket nya berkeliling sekitar area parkir, dan kami membayar Rp.10,000/orang ke penjual tiket tersebut tanpa ada karcis. Ya sudahlah.

Keluar mobil setelah parkir, langsung tercium aroma busuk belerang. Sepanjang jalan dari parkiran menuju kawah banyak warung menjual souvenir khususnya yang berhubungan dengan belerang, seperti pasir belerang yang katanya bisa menghilangkan jerawat. Hmm menarik. Ada juga yang menyewakan properti buat foto seperti latar bentuk love dengan tulisan Kawah Sikidang. Di Dieng yang touristy ini apa-apa bayar deh, gada yang gratis. Kami berfoto-foto sebentar di dekat Kawah, dimana beberapa penjual telur rebus sedang merebus telur-telur di dalam belerang, lalu balik lagi ke mobil karena walaupun udara dingin tapi mataharinya panas banget bo!

Panas dan bau @ Kawah Sikidang

Tempat wisata selanjutnya yang ditemui adalah Dieng Plateu Theater dan Batu Pandang Dieng yang letaknya bersampingan. Dieng Plateu Theater menampilkan pertunjukan dokumenter mengenai Dieng Plateu (dataran tinggi Dieng) yang mungkin bagi saya menarik tapi tidak bagi Nad, apalagi kalau di dalam ruang bioskop yang gelap, takutnya dia minta keluar. Jadi kami naik ke Batu Pandang saja. Apa, naik bukit lagi?? Untungnya jalan naik Batu Padang ini tidak terlalu tinggi. Tiket masuknya Rp.10,000/orang. Dari atas sana kita bisa melihat pemandangan Telaga Warna, Telaga Pengilon, Gunung Prau dan perbukitan Dieng lainnya. Cantik banget! Disediakan deck khusus dengan tulisan Batu Pandang buat spot foto yang keren. Ada flying fox juga disana kalau mau naik tiket nya Rp.50,000/orang.

View Telaga Warna dan Telaga Pengilon di Batu Pandang

Setelah melihat Telaga Warna dari atas, kami masuk ke area danau itu untuk melihat dari dekat. Harga tiket masuknya Rp.8500/orang bisa untuk masuk Telaga Warna dan Telaga Pengilon di sebelahnya. Selain karena cuaca yang gerimis, pemandangan nya tidak secantik kalau dilihat dari atas, jadi kami tidak terlalu lama berjalan-jalan disana.

Banyak penampakan Disney di Telaga Warna

Setelah itu kami menuju Candi Arjuna. Agak kaget saat melihat tiket nya di-bundling dengan tiket Kawah Sikidang dengan harga Rp.20,000/orang. Saya bilang ke penjaga tiket kalau saya sudah masuk ke Kawah Sikidang lewat belakang dan membayar tiket Rp.10,000/orang. Sayangnya saya tidak punya bukti tiket masuk sebelumnya. Akhirnya dibolehkan bayar Rp.25,000 untuk 2 orang (Nad ga dihitung). Saya bingung juga kenapa dua tempat wisata ini digabung tiketnya, kalau di lihat di peta jarak antara Candi Arjuna dan Kawah Sikidang tidak terlalu dekat. Pintu masuk resmi Kawah Sikidang nya di sebelah mana?

Kompleks Percandian Arjuna terdiri dari beberapa Candi peninggalan kebudayaan Hindu yang diberi nama-nama dari cerita Mahabarata seperti Arjuna, Srikandi, Bima dan Gatot Kaca. Yang paling besar dan bagus adalah Candi Arjuna, yang arsitektur nya mirip-mirip Candi Gedong Songo yang kami kunjungi beberapa hari sebelumnya di Bandungan dekat Semarang. Dari Candi Arjuna kami berjalan ke arah Candi Gatotkaca yang lebih kecil dan terletak berseberangan dengan Museum Kailasa. Kami tidak masuk ke dalam museum nya, hanya numpang Sholat Dzuhur dan melihat pemandangan Dieng dari atas Museum yang lokasinya agak tinggi.

Candi Arjuna. Di kaki bukit di background ada tulisan “Dieng Banjarnegara”, karena kawasan Dieng ini sebagian berada di Kabupaten Banjarnegara dan sebagian lagi masuk Kabupaten Wonosobo

Tadinya kami berencana menginap dua malam di Dieng, tapi akhirnya siang itu kami memutuskan untuk langsung cabut dari Dieng menuju arah Jakarta. Pulang. Saat itu Sabtu siang, dan kami sudah harus masuk kerja lagi hari Senin nya. Kalau Minggu pagi baru bergerak dari Dieng, mungkin akan sampai di Jakarta Minggu malam dan takutnya kecapekan, tidak cukup waktu untuk beristirahat. Mungkin juga karena kami sudah agak lelah berjalan-jalan selama 6 hari (ini traveling kami paling lama so far), dan naik turun bukit pagi-pagi buta, dan juga sudah merasa cukup menikmati Dieng yang touristy ini, jadilah kami pulang lebih awal. Homestay di Dieng satu lagi yang saya hubungi untuk tempat menginap malam itu belum saya kirimkan DP (down payment) atau tanda jadi booking, karena memang pas saya tanya perlu transfer DP kemana dijawab tidak perlu nanti saja bayar saat datang, jadi dari segi biaya saya tidak rugi. Tapi saya tetap kirim pesan ke pemilik homestay kalau saya minta maaf batal menginap disana.

Untuk lunch kami membeli nasi goreng di salah satu warung di pusat wisata Dieng untuk dibungkus dan dimakan di perjalanan saja, biar menghemat waktu. Saat itu hampir pukul 3 sore dan tujuan kami menginap malam itu adalah Kota Purwokerto, masih Jawa Tengah, yang berjarak sekitar 105km (3,5 jam perjalanan mobil) dari Dieng. Di sepanjang perjalanan kesana saya bertugas mencari dan booking tempat penginapan lewat internet. Bagi saya yang orangnya serba terencana, itu mungkin pertama kalinya saya booking penginapan 3 jam sebelum check-in hehe, untung masih dapat yang lumayan bagus dan tidak mahal. Kami sampai di penginapan sekitar pukul 6 sore, beristirahat sebentar lalu keluar makan malam sekalian melihat-lihat isi kota ini. Kami makan malam Sroto H. Loso di Jalan Bank. Sroto ya sama dengan soto deh. Selain soto ayam nya, saya juga nyobain es duren yang katanya enak disini, dan ternyata memang enak. Tapi saya belum pernah nemu ada es duren yang ga enak sih hehe.

Di jalan pulang ke penginapan kami melewati Alun-Alun nya yang ramai sekali. Seperti di Alun-Alun Semarang, ada sepeda hias kelap-kelip. Mungkin karena itu malam minggu dan ada acara nonton bareng pertandingan final piala AFF Indonesia vs Thailand disana. Kotanya kecil tapi cukup sibuk, mungkin karena kota ini sering menjadi tempat persinggahan pejalan antara kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta dan Semarang. Ya seperti kami ini, lumayan menghemat 1/3 perjalanan dari Dieng ke Jakarta dengan menginap di Purwokerto semalam. Esok paginya kami berangkat dari penginapan jam 8 dan sampai di Jakarta sekitar jam 3 sore. Kurang lebih 7 jam, karena agak macet ada jalan rusak di Ajibarang.

Tips road trip bareng anak: buat mobil senyaman mungkin
Pemandangan cantik di jalan pulang ke Jakarta

Ahh waktunya istirahat, dan melihat foto-foto hasil road trip pertama kami ke Jawa Tengah. See you in another series!

Leave a Reply

Your email address will not be published.