Skip to content

Road Trip Jawa Tengah: Semarang

Desember lalu saya dan tim The Lost Wanderer (aka Suami dan Anak N haha) liburan akhir tahun yang tidak terlalu akhir. Biasanya orang-orang liburan di minggu terakhir Desember pas Natal dan Tahun Baru, tapi kami liburan di minggu kedua Desember (tanggal 12-19). Keputusan yang tepat, karena kemana-mana masih belum ramai, dan harga hotel juga belum naik banget. Dan saat kami balik ke Ibukota, penduduk Jakarta akan mulai liburan dan kami bisa menikmati kota Jakarta yang lengang selama beberapa minggu.

Kali ini kami jalan-jalan keliling Jawa Tengah selama 7 hari dengan mobil pribadi, road trip pertama kali hanya bertiga saja, dengan tujuan Semarang, Bandungan, Solo, Ambarawa dan Dieng. Di posting-an pertama seri Road Trip Jawa Tengah ini akan saya ceritakan tentang perjalanan kami ke Kota Semarang, ibukota Jawa Tengah.

Kami berangkat dari rumah sekitar jam 6 pagi lewat tol Cipali ke arah Brebes, dan dari Brebes ke Semarang melewati jalan Pantura biasa. Tol baru ini bener-bener membantu transportasi ke Jawa ya karena perjalanan jadi cepat dan nyaman. Mudah-mudahan tol nya segera selesai sampai ke Semarang deh. Di antara Brebes dan Semarang, kami mampir istirahat setengah jam dulu di Kota Pekalongan, lumayan si Suami stretching badan buat nanti lanjut nyetir lagi hehe. Di kota yang terkenal dengan Batik nya ini tentu saja ada Museum Batik. Dengan tiket masuk Rp.5000/orang kami melihat-lihat ke dalam museum itu. Bangunannya tua (dan agak serem hehe) peninggalan Belanda, terdiri dari beberapa ruangan display yang menampilkan bermacam-macam batik, tidak hanya dari Pekalongan saja. Di bagian belakang ada kantin kecil dan area workshop buat yang mau belajar mem-batik. Di seberang gedung ini ada Alun-Alun Jatayu, atau disebut juga dengan Alun-Alun Batik karena ada pajangan huruf B-A-T-I-K besar di sana yang keren buat spot foto.

Alun-Alun Batik Pekalongan

Sampai di Semarang sekitar pukul 1, kami makan siang dulu di Tahu Gimbal Pak Edi di Jalan Pandanaran dekat Simpang Lima, hasil browsing di internet. Masakan ini berisi tahu, gimbal (bakwan) udang yang dipotong-potong kecil ditambah irisan kol dan telur goreng di atasnya lalu disiram dengan bumbu kacang petis encer. Yang bikin enak ya bumbu siram nya. Kami mesen 1 Tahu Gimbal, 1 Mie Bakso, 1 Es Campur dan 1 Es Jeruk total Rp.43,000 saja. Di Warung Tahu Gimbal Pak Edi ini, dudukannya lesehan, bersama dengan warung-warung lainnya. Letaknya di pinggir jalan sepanjang Taman Menteri Supeno. Sekilas melihat di taman nya ada tempat mainan anak-anak, tapi ga jadi mampir. Biasa deh suka duka traveling dengan balita, tiba-tiba si N pup (masih pakai popok instan sih), dan pas mau bilas di toilet taman nya, eugh toilet nya kotor, bau dan gada air. Jadinya kami langsung meluncur ke hotel yang sudah kami booking, Oak Tree Emerald, sekitar 6km (15menit) dari tempat makan itu.

Tahu Gimbal dan Mie Bakso

Kami pun check-in, berenang dan istirahat di hotel sampai… Maghrib! Haha ternyata hotel nya asik dan nyaman banget, jadinya betah menghabiskan waktu lama disana. Review hotel nanti ditulis di postingan lain ya. Setelah Maghrib, kami dijemput saudara yang tinggal di Semarang untuk makan malam bareng di luar. Kami makan Nasi Gandul Pak Subur di Jl KH Ahmad Dahlan, dekat Simpang Lima. Nasi Gandul sebenarnya makanan khas Pati, salah satu daerah di Jawa Tengah. Tapi ini enak banget dimakan anget-anget, nasi pakai kuah dengan sedikit potongan daging sapi. Kita bisa minta tambahan lauk seperti telur, jeroan, tempe tahu goreng dan perkedel. Selesai makan, rombongan saudara pulang ke rumah nya dan kami lanjut ke Alun-Alun Simpang Lima.

Saya paling demen deh open public space non-mall semacam alun-alun gini. Apalagi kalau malam hari juga rame. Sekelilingnya ada trotoar besar dimana para pengunjung bisa menyewa sepeda hias berlampu warna-warni. Masuk ke dalam lapangannya yang luas, ada perosotan untuk anak-anak. Karena baru saja hujan sore nya, tanah nya agak becek dan alat perosotannya agak basah, jadi N ga bisa lama-lama main disitu. Selain itu, ada banyak pedagang yang menjual mainan anak-anak. Saya beli mainan gelembung busa sabun buat N. Lumayan deh dia seneng main gelembung itu sambil lari sana sini.

Besok paginya kami mulai menjelajah Kota Semarang. Tujuan pertama adalah Museum Lawang Sewu. Bangunan tua megah peninggalan Belanda ini dinamakan Lawang (pintu) Sewu (seribu) karena memiliki pintu yang sangat banyak, meskipun tidak sampai seribu. Pada saat penjajahan Belanda, gedung ini dulunya digunakan sebagai markas Kereta Api Belanda, dan setelah kemerdekaan digunakan sebagai kantor Kereta Api Indonesia. Di dalamnya terdapat banyak display mengenai sejarah perkeretaapian Indonesia. Di bagian luarnya ada lokomotif kuno. Seluruh kompleks nya cakep buat foto-foto, wajar kalau banyak yang foto prewedding disana. Tempat wisata ini buka dari jam 8 pagi sampai 9 malam dengan harga tiket masuknya Rp.10,000/orang. Jadi kalau berani, bisa tuh menjelajahi Lawang Sewu yang katanya berhantu ini di malam hari hehe.

Lawang Sewu

Lawang Sewu tidak memiliki lahan parkir, jadi kalau bawa kendaraan sendiri, cari parkir di gedung lain di sekitaran Tugu Muda. Kami parkir di Museum Perjuangan Mandala Bhakti, tidak jauh dari sana. Niatnya sih mau jalan kaki, eh di parkiran Museum Mandala Bhakti kami nemu shuttle bus kecil gratis yang mau muterin Tugu Muda dan berhenti di Lawang Sewu, langsung naik deh. Shuttle bus ini tidak menunggu lama di tempat pemberhentian, dan saya ga tau jadwal nya gimana. Saat keluar dari Lawang Sewu, kami tidak melihat adanya tanda-tanda shuttle bus ini mau datang. Niatnya lagi sih mau jalan kaki, eh tiba-tiba ada becak dayung nawarin jasanya, boleh juga nih sekalian N nyobain transportasi becak hehe.

Sampai di Museum Perjuangan Mandala Bhakti, mumpung udah disana, kami nyoba masuk ke museum yang sepi itu. Parkirannya sih ramai dengan kendaraan dan warung jajanan, tapi tidak ada orang keluar masuk pintu museum. Suami nyoba buka pintu nya dan nanya ke penjaganya (pakai kaos dalam) apakah tempat ini buka. Dia mempersilahkan kami masuk tanpa biaya masuk. Di dalam bangunan yang juga peninggalan Belanda ini agak gelap dan tidak terawat, berisi beberapa ruangan yang memajang persenjataan dan seragam TNI. Agak-agak spooky dan tidak ada pelancong lain, jadi kita cepat-cepat keluar dari sana hehe.

Setelah itu kami menuju Sam Poo Kong, kelenteng Cina tertua dan terbesar di Semarang. Sejarahnya sih dahulu kala Laksamana Zheng He /  Cheng Ho, seorang Cina Muslim, menemukan area yang dahulu berbentuk goa ini yang cocok untuk tempat berdoa. Saat Cheng Ho pergi berlayar lagi, beberapa orang pengikutnya yang sudah nyaman tinggal disana tidak ikut berlayar dan memutuskan tinggal selamanya dan membangun kuil dan patung Cheng Ho disana. Seiring waktu, karena tidak ada dana lagi untuk merawat kelenteng ini, umat yang berdoa disini sempat pindah berdoa ke kelenteng lain bernama Tay Kak Sie yang terletak sekitar 5km dari Sam Poo Kong. Sam Poo Kong kemudian direnovasi lalu ditelantarkan lagi, direnovasi lagi, ditelantarkan lagi… sampai akhirnya tempat ini direnovasi besar-besaran di tahun 2005 dan menjadi tempat wisata yang sangat cantik di Kota Semarang. Harga tiket masuk nya Rp.3000/orang.

Sam Poo Kong

Setelah itu kami menuju ke rumah saudara untuk berkunjung dan makan siang di sana. Sekitar pukul 2.30pm, kami mulai jalan lagi dari rumah saudara ke Kota Tua nya Semarang. Kalau di Jakarta ada Kota Tua, di Semarang namanya Kota Lama (sama-sama Old City yaa). Karena agak-agak gerimis, kami melewati jalanan paving block sekitaran Kota Lama dengan mobil. Bangunan disini semuanya bergaya Eropa, serasa di Belanda beneran deh. Gedung yang paling terkenal mungkin adalah Gereja Blenduk, Gereja Kristen tertua di Jawa Tengah yang masih digunakan sampai sekarang.

Dari Kota Lama, kami menuju Tay Kak Sie Temple. Ingat sejarah Sam Poo Kong yang saya tulis di atas? Ya, ini kelenteng yang digunakan untuk berdoa saat penduduk Cina tidak sanggup merawat Sam Poo Kong lagi. Kelenteng ini tidak sebesar dan semegah Sam Poo Kong, tapi ukiran dan hiasannya sangat detail dan menurut saya lebih bagus dari ukiran-ukiran di Sam Poo Kong. Di bagian depannya ada patung Laksamana Cheng Ho juga. Tidak ada gerbang dan pintu masuk, bangunan kelenteng nya terbuka gitu aja untuk pengunjung. Yang menarik adalah warung Lumpia yang ada di jalan kecil menuju temple ini (loh kok makanan?). Kami lihat kiosnya ramai banget dan ada stiker logo Trip Advisor segala. Ternyata itu Warung Lumpia Gang Lombok yang terkenal, bener-bener di luar rencana dan tidak tau tempat makan ini sebelumnya. Saya dan Suami tidak terlalu suka Lumpia Semarang yang isinya rebung amis itu, tapi ga afdol rasanya kalau ke Semarang ga makan Lumpia. Jadinya kami gantian, saat saya ambil foto-foto kelenteng, Suami di dalam mobil jagain N, lalu gantian Suami ke warung buat beli Lumpia (untuk dimakan di hotel nanti, karena masih pada kenyang banget) dan saya jagain di mobil. Harga satu porsi Lumpia nya Rp.15,000.

Tay Kak Sie Temple

Dari sana kami meluncur ke Masjid Agung Jawa Tengah, masjid terbesar di Jawa Tengah bukan cuma di Kota Semarang. Di tingkat 2 ada teras dengan 6 payung elektrik raksasa yang bisa dibuka tutup seperti payung hidroliknya Masjid Nabawi di Madinah, Arab Saudi. Biasanya dibuka saat Sholat Jumat, Sholat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Atapnya berbentuk piramida ala mesjid-mesjid Jawa Tengah lalu ditutup dengan kubah kecil. Di dalam mesjid tingkat dua ada Quran raksasa, dan di luar mesjid ada Menara Asmaul Husna yang bisa dinaiki sampai ke Lt.19 untuk melihat pemandangan Kota Semarang.

Masjid Agung
Pemberhentian terakhir kami sebelum balik ke hotel hari itu adalah Pagoda Avalokitesvara di area kompleks Vihara Buddhagaya Watugong, hehe susah ya namanya. Ini satu-satunya tempat wisata yang kami datangi yang letaknya agak di luar kota Semarang, menuju ke arah Ungaran. Waktu kami sampai sana sudah pukul 5.30pm, penjaga nya nanya mau berkunjung apa berdoa. Saya bilang cuma mau lihat dan foto-foto Pagoda nya sebentar. Penjaga nya bingung kali nih turis Jakarta (naik mobil plat B) niat banget melancong udah jam segini, udah gada orang. Seharusnya mobil parkir di parkiran (yaiyalah), tapi karena agak gerimis dan dilihat ada anak kecil, penjaga yang baik hati mempersilahkan mobil kami masuk sampai persis di pinggir Pagoda, jadi ga perlu jalan jauh. Pagoda ini berbentuk segi 8 dan bertingkat 7 dengan patung Dewi Kwan Im di setiap tingkat nya menghadap ke 4 jurusan mata angin. Nuansa warna nya merah, kuning, hijau tapi merah nya ga terlalu dominan seperti Sam Poo Kong. Karena kesananya sudah mau sunset, lampu-lampunya sudah menyala jadi terlihat misty dan cantik banget. Pagoda ini terletak di area sebuah Vihara Buddha, tapi saya tidak sempat melihat-lihat bangunan Vihara nya.

Pagoda Avalokitesvara

Apa sih bedanya Vihara dan Kelenteng/Kuil? Setahu saya, Vihara itu hanya dijadikan sebagai tempat ibadah (spiritual) sedangkan Kelenteng selain digunakan sebagai tempat spiritual juga dijadikan tempat sosial dan berkumpulnya komunitas Cina. Vihara Buddhagaya Watugong sudah kelihatan lah ya dari namanya kalau ini tempat beribadah Umat Buddha. Kalau Kelenteng Tay Kak Sie dan Sam Poo Kong tempat ibadah dan berkumpulnya umat beragama Tao/Taoism.

Pukul 6 sore kami pun balik ke hotel. Kebetulan hotel nya memberi 2 kupon makan malam gratis di restorannya. Cuma nasi goreng sih, ya gapapa daripada jalan keluar lagi udah hujan, males dan capek. Besok pagi nya kami checkout sekitar pukul 9, mampir di toko Bandeng Juwana Elrina dulu buat beli oleh-oleh Bandeng Presto yang wajib dibawa pulang itu. Letaknya di Jalan Pandanaran dan buka 24 jam, wow! Waktu itu harga Bandeng Presto nya yang vacuum (tahan 3 bulan suhu ruangan) Rp.118,000/kg sedangkan Bandeng Presto non-vacuum (tahan 24 jam suhu ruangan) Rp.92,000/kg. Destinasi kota selanjutnya adalah Solo, tapi kami mau jalan-jalan seharian di Bandungan dulu. Hmm, ada apa sih di Bandungan? Check out my next post ya, karena postingan ini sudah kepanjangan haha. See you soon!

Baca juga review hotel tempat kami menginap selama trip ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published.