Skip to content

Road Trip Jawa Tengah: Solo

Ini adalah lanjutan seri postingan mengenai road trip saya dan keluarga ke Jawa Tengah akhir Desember lalu. Lihat postingan sebelumnya di Semarang dan di Bandungan. Dari Bandungan, kami menuju Solo/Surakarta, dan menginap disana 2 malam. Ngapain aja?

Malam pertama, setelah check-in di hotel, kami keluar mencari makanan khas Solo. Hasil browsing sana-sini, saya kami memutuskan untuk ke Nasi Liwet Bu Wongso Lemu di Jl. Teuku Umar. Pas belok di jalan itu, jeng jeng… banyak amat warung dengan nama Nasi Liwet Wongso Lemu, dan semuanya mengaku asli, yang mana yang beneran asli nih? Suami mutar jalan sekali lagi sambil saya cari tau di google. Saya nemu blog yang bilang kalau warung yang asli adalah yang ada tulisan Cipto Sukani di bawah nya, kalo itu sih memang cuma ada 1 warung tadi. Katanya Bu Wongso Lemu sudah meninggal dan yang meneruskan masakannya adalah 3 orang anaknya dan Cipto Sukani adalah anaknya yang tertua. Ga tau deh bener atau ga, tapi yang pasti perut sudah memanggil minta diisi jadi kami masuk ke Warung Nasi Liwet Wongso Lemu yang ada tulisan Cipto Sukani nya.

Nasi Liwet adalah nasi putih gurih yang disiram kuah santan berisi labu siam, suwiran ayam dan telur rebus, yang disajikan di pincuk daun pisang. Enak banget! Dua porsi nasi liwet, kerupuk, es jeruk dan es teh total 51ribu rupiah saja. Udah cukup murah dibandingkan makanan di Jakarta, tapi katanya Nasi Liwet Bu Wongso ini termasuk mahal di Solo.

Keesokan harinya setelah sarapan di hotel, kami mulai jalan-jalan di kota Solo dimulai dari Keraton Surakarta Hadiningrat. Kami parkir mobil di parkiran Alun-Alun Utara yang dipadati oleh pedagang batik dan lainnya yang pindah sementara dari Pasar Klewer sebelah Keraton yang terbakar di akhir tahun 2014 yang lalu. Harga tiket masuk nya 10ribu/orang termasuk Museum Keraton di dalamnya. Karena saya waktu itu menggunakan celana pendek, saya diberi kain jarik untuk dililit menutupi kaki sebelum masuk ke bagian dalam Keraton. Selain itu alas kaki juga harus dilepaskan. Wah Nadya seneng banget deh nyeker. Kita bisa berkeliling sendirian atau bersama guide disana yang sudah agak tua dan menggunakan seragam abdi dalem Keraton. Tidak ada harga pasti sewa guide nya berapa tapi yang jelas kita harus ngasih tips di akhir tur. Guide nya juga menawarkan kami foto bersama mbok-mbok pelayan keluarga Raja, dan foto bersama dua penjaga Keraton yang menggunakan seragam security Keraton yang cukup gagah. Kami tidak berfoto dengan simbok2 tapi kami foto dengan ‘security’ Keraton yang memaksa kami memberikan tips. Agak pemerasan tapi ya sudahlah lumayan buat kenang-kenangan.

Lampu gantung ditutup biar ga berdebu, dan hanya dibuka kalau ada acara di Keraton

Selain curhatan guide nya yang berulang kali menceritakan bagaimana mereka digaji sangat kecil (50ribu sebulan, really?), saya juga menangkap beberapa cerita penting lainnya seperti Menara Sanggabuwana tempat Sri Sunan Pakubuwono bertapa dan bertemu dengan Nyi Roro Kidul. Yeah it’s getting creepy but as you know Solo (and Yogyakarta) has a lot of mystical myths, and that is one of them. Dalam bayangan saya, Jawa itu bernuansa gelap serba coklat dan hitam, mungkin karena saya lebih dahulu melihat Keraton Yogyakarta. Tapi ternyata Keraton Surakarta Hadiningrat ini bernuansa adem biru putih, begitu juga Keraton Kartosuro (kesunanan sebelum Surakarta) dan Keraton Mataram (kesunanan sebelum Kartosuro). Guide nya bilang warna biru diambil dari warna laut tempat bertahtanya Kanjeng Ratu Kidul yang memiliki hubungan istimewa dengan Sunan-Sunan Jawa. Keraton Surakarta juga bergaya arsitektur Jawa campur Eropa. Beberapa hiasannya bergaya Eropa seperti lampu gantung chandelier dan patung dewi-dewi Yunani, yang merupakan hadiah kepada Sunan.

Di area luar Keraton terdapat Museum yang mana kita tidak perlu lagi membuka alas kaki dan bisa melepas kain jarik tadi. Disana terdapat gambar-gambar dan penjelasan mengenai sejarah dan silsilah keluarga Keraton Surakarta ini. Ada juga bekas kereta kencana yang pernah digunakan.

Dari Keraton kami menuju Pura Mangkunegaran, another palace. Praja Mangkunegaran adalah kerajaan kecil di Jawa Tengah dipimpin oleh Adipati Mangkunegara yang sebenarnya masih saudaraan dan keturunan dari Sunan Pakubuwono Surakarta dan Sultan Hamengkubuwono Yogyakarta, yang muncul karena menentang kebijakan Pakubuwono dan Hamengkubuwono yang terlalu nurut pada VOC Belanda. Begitulah sejarahnya, tapi kami tidak jadi masuk ke dalam Pura Mangkunegaran karena waktu itu bingung pintu masuknya yang mana, apakah buka atau tidak, dan dari luar tampak tidak terurus dan banyak orang lokal duduk-duduk di luar gerbang seperti menunggu umpan haha. Akhirnya kita enggan masuk dan memutuskan cabut dari sana. Ntahlah kok saya merasa Solo itu tidak tourist-friendly. Kami juga sebelumnya coba mengunjungi Fort Vastenburg, benteng peninggalan Belanda di dekat Keraton Surakarta. Udah muterin 1 lap kok ga nemu pintu masuk, malah sepanjang tembok benteng ditutupi pedagang grosiran, gimana mau menikmati tempat wisatanya ya?

Karena kami sudah bingung mau kemana lagi, akhirnya kami berkunjung ke rumah saudara (sepupunya mertua saya) yang tidak jauh dari tengah kota. Sebenernya udah pengen kesana dari malam sebelumnya, tapi katanya lagi ga di rumah. Setelah ngobrol-ngobrol sebentar di dalam rumah, kami pun diajak-ajak muter-muter kota Solo. Pertama kami makan siang dulu di Sajian Mareme, local Chinese restaurant langganannya saudara. Enaknya makan disini tuh bisa ngeliatin kereta api yang sering lewat karena lokasinya di seberang rel. Lumayan deh jadi tontonannya si anak kecil sambil dia makan.

Sehabis makan, kami muter-muterin kota saja di dalam mobil. Sempet mampir ke Taman Sriwedari yang dulunya tempat hiburan, seni dan budaya favorit namun sekarang sudah menurun kejayaannya. Ada wahana bermain anak-anak dan aula terbuka yang waktu kami kesana saat itu sedang digunakan beberapa kelompok latihan tari tradisional. Katanya yang masih bagus dan bertahan adalah Gedung Wayang Orang yang terletak di bagian belakang tempat ini. Pertunjukannya setiap hari kecuali Minggu jam 8pm, dan tiketnya cuma 3ribu rupiah saja! Gilak sama kayak harga gorengan. Pengen nonton sih tapi kayanya ga bisa malam ini, dan besok pagi sudah cabut dari Solo, so maybe next time.

Setelah itu kami jalan-jalan santai di Taman Balekambang yang dibangun oleh Mangkunegaran VII untuk kedua putri kesayangannya yaitu Partinah dan Partini pada tahun 1921. Tamannya terbagi 2: area hutan dengan banyak pepohonan rindang yang dinamai Partinah Bosch (Hutan Partinah) ditandai dengan adanya patung Partinah, dan area taman air dengan kolam buatan yang dinamai Partini Tuin (Taman Air Partini) ditandai dengan adanya patung Partini. Di Partinah Bosch ada jalanan berbatu buat refleksi kaki, dan ada beberapa hewan berkeliaran bebas seperti rusa dan angsa. Di Partini Tuin ada tempat penyewaan perahu bebek untuk berkeliling kolam. Di area belakang Partini Tuin ada Taman Reptil semacam kebun binatang mini yang ada beberapa jenis ular, didalam kandang terkunci tentunya tapi ada satu ular besar dilepas gitu aja yang bisa dipegang dan dijadikan spot foto bersama. Ada pawang nya sih tapi tetep aja saya ga berani deket-deket. Walaupun judulnya Taman Reptil tapi ada juga binatang lain seperti burung dan monyet. Harga tiket masuk nya cuma 5ribu rupiah, sedangkan masuk Taman Balekambang sendiri gratis. Taman ini tampak lebih terawat dari Taman Sriwedari dan saya suka aja ada taman asri buat rakyat seperti ini di tengah kota.

Taman Balekambang bagian Partinah Bosch: ada patung Partinah, tempat duduk, refleksi batu, dan rusa

Sekitar jam 4 sore saya dan keluarga sudah balik ke hotel. Kami pisah dulu dengan saudara dan janjian bertemu lagi untuk makan malam bareng. Kami mandi dan istirahat sebentar di hotel sampai maghrib, lalu keluar nyari oleh-oleh di Toko Roti Orion yang terkenal dengan Kue Mandarin nya. Selain kesana, kami juga mampir ke restoran Timlo Solo buat nyobain Sop Timlo nya. Tenang, kami cuma mesen 1 porsi buat bertiga kok, jadi masi ada cukup space buat dinner benerannya nanti. Kami nemu restoran itu berdasarkan hasil googling saja, ga tau tempat yang paling enak Timlo nya atau bukan. Kalau pengunjung nya sendiri sih sepi jam 6.30pm (udah masuk jam makan malam dong, atau orang Solo makannya telat?) cuma ada 2 keluarga lain selain saya, dan tampak dari mobil nya para pendatang juga, bukan orang lokal. Jadi mungkin bukan resto paling favorit.

Balik lagi ke hotel, sekitar jam 7.30pm dijemput sama saudara naik mobilnya dia kita menuju ke resto Wedangan Cangkir Blirik. Wedangan atau Hik adalah warung makan angkringan khas Solo yang awalnya hanya berupa gerobak yang mangkal di emperan atau pertigaan dan menjual nasi kucing (nasi bungkus dengan aneka lauk dan gorengan) dan minuman hangat (wedang) yang bukanya selalu malam hari. Sekarang Wedangan sudah lebih modern, tidak hanya gerobak pinggir jalan tapi ada juga restoran dengan tempat duduk bagus dan fasilitas wifi jadi wanita dan anak2 juga nyaman ber-Wedangan. Masuk ke restorannya kami milih-milih dulu lauknya seperti ayam, usus, dendeng dan lain-lain yang ditusuk lidi seperti sate trus apa yang kita pilih akan digoreng di tempat dan disajikan ke kita hangat-hangat. Walaupun di resto bagus, suasananya dibuat semirip Wedangan tradisional yaitu cahaya remang-remang dari lampu teplok, piring dan cangkirnya blirik kuno (makanya disebut Cangkir Blirik ya). Bisa duduk lesehan ataupun di kursi gede landai jaman dulu yang bikin tambah betah berlama-lama ngobrol disana.

Wedang Cangkir Blirik

Wedangan itu suatu cara orang Solo untuk bersosialisasi, makin malam makin rame. Mungkin itu sebabnya restoran Timlo sepi banget jam 6.30 malam dan katanya ada warung Gudeg Ceker yang buka dan rame jam 2 pagi (saya belum nyobain nih). Beda dengan warung-warung di pinggiran jalan Jakarta yang seperti tempat persinggahan eskpres, laper di tengah jalan lalu melipir sebentar di warung terdekat buat makan trus lanjut jalan lagi. Kalo di Solo, orang-orang sengaja ke warung buat ngobrol dan berinteraksi. Banyak pebisnis besar (bahkan Presiden Jokowi) yang suka Wedangan tengah malam dan akhirnya menghasilkan ide dan pemikiran cemerlang hasil Wedangan hehe.

Sebelum pulang kami mau berfoto dulu di depan restoran ini. Pas minta tolong salah satu pelayan resto untuk motoin, eh dia nyalain lampu sorot gede seperti di studio foto yang menyoroti pintu masuk restoran dengan latar tulisan nama tokonya besar-besar. Oh ternyata itu emang spot foto biasa yang sudah disiapkan untuk para tamu hehe. Kan cahaya di resto nya remang-remang jadi pake lampu sorot biar hasil fotonya bagus.

That enjoyable night ends our short trip in Solo. Nginepnya sih 2 malam tapi jalan-jalannya bisa dibilang cuma 1 hari karena hari pertama sampainya sudah malam dan hari ketiga berangkat dari Solo pagi-pagi sekali menuju Dieng Wonosobo. Kenapa pagi banget, kan Solo ke Dieng cuma 4,5 jam? Karena kami mau mampir dulu di Ambarawa. Tunggu cerita Ambarawa kami di postingan Road Trip Jawa Tengah selanjutnya ya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.