Kali ketiga ke Vientiane, akhirnya rasa penasaran saya dengan kota ini sudah selesai.
Trip pertama di bulan Maret 2024, saya sampai Eastin Hotel sudah jam 9 malam, besoknya full day workshop dan sorenya ada networking dinner segala di rooftop bar hotel. Walaupun agak jauh dari pusat kota, hotelnya menghadap Sungai Mekong yang indah, dimana kita bisa melihat Thailand di seberangnya. Malam itu saya sempat melipir sebentar ke Vientiane Night Market menggunakan free shuttle car dari hotel yang beroperasi sejam sekali. Isinya sih kebanyakan barang impor dari Cina, tapi ada juga beberapa lapak yang menjual souvenir dan kain tradisional khas Laos (Sinh). Target saya waktu itu cuma mau beli rok Sinh (mirip songket) yang selalu dipakai teman-teman wanita Laos saat meeting (sama seperti teman-teman Indonesia yang terlihat cakep-cakep kalau menggunakan batik, serta teman-teman Brunei dan Malaysia yang memakai baju kurung). Keesokan harinya jadwal pesawat saya agak siang sekitar jam 2, tapi tidak sempat kemana-mana karena harus menyiapkan presentasi untuk lanjut meeting di Bangkok besoknya.
Kali kedua ke Vientiane di September 2024 adalah puncak dari segala kerjaan setahun terakhir. Ada 2 Report yang saya kerjakan akan launching di ASEAN Energy Business Forum (AEBF), yang berbarengan dengan 42nd ASEAN Ministers on Energy Meeting (AMEM), yaitu 8th ASEAN Energy Outlook (AEO8) dan ASEAN Energy Investment 2024. Saya juga harus memoderasi salah satu sesi di 4th ASEAN International Conference on Energy and Environment (AICEE) dan presentasi di Strategic Multistakeholders Forum on Just and Inclusive Energy Transition. Walaupun perjalanan kali ini cukup panjang (5 hari 4 malam), tapi setiap hari saya harus ikut full day event di Lao National Convention Center dan setiap malam ada yang harus dikerjakan untuk persiapan esok hari. Karena sedang diet juga, malamnya saya skip dinner, kecuali dua malam: makan Beef Pho di restoran Vietnam seberang hotel bernama Camon dan saat Gala Dinner pada malam terakhir. Rok Sinh yang dibeli di trip pertama saya bawa untuk dipakai saat Gala Dinner di Landmark Mekong Riverside Hotel.
Sama seperti sebelumnya, flight pulang saya siang, tapi di hari Sabtu, jadi paginya ada waktu kosong setengah hari. Saya janjian ketemuan sama seorang teman wanita Laos yang dulu pernah ikut short course Renewable Energy Project Management bareng di New Zealand dari Manaaki Scholarship. Kami ngobrol di La Terrasse bakery shop yang letaknya hanya satu blok dari hotel saya di DoubleTree by Hilton. Dengan baik hati dia juga mengantarkan saya mengunjungi Patuxay, monumen nasional nya Laos yang bentuknya mirip Arc de Triomphe. Udah itu saja, nggak sempat kemana-mana lagi.
Akhirnya saya balik lagi ke Vientiane di bulan Maret 2025 ini, menginap di hotel yang sama dengan trip terakhir. Walaupun berpuasa, kali ini saya berniat untuk mengunjungi lebih banyak tempat. Saya sampai tarik uang Kip di ATM dekat hotel, tidak seperti dua trip sebelumnya yang hanya bermodalkan USD dan kartu kredit. Awalnya agen travel kantor menawarkan flight Thai Airways (TG) yang biasa, yang sampai Vientiane sudah jam 8 malam. Kali ini saya minta flight budget Air Asia (upgrade ke Premium Flex pun masih lebih murah dari TG) tapi bisa sampai hotel jam 3an sore. Sorenya saya ngabuburit jalan sore di sekeliling hotel: Wat Ong Teu Temple, Food Night Market, Nam Phou Fountain, Presidential Palace, Wat Sisangket, Chao Anouvong Park, Night Market (tapi masih sepi karena belum sunset). Malamnya saya jalan kaki nyusul beberapa teman yang pada makan di fast food center seberang Lao Plaza Hotel (ada Texas Chicken, Pizza, Boost, dan Swensen). Jalan dari hotel kesana melewati kantor Bank of Lao PDR, dan uniknya jalanan di sekitar kantor ini ditutup saat malam hari, mungkin agar lebih aman dari kejahatan.
Besoknya acara full day di hotel, tapi bebas setelah jam 5 sore, saya pun cus ngabuburit ke Parkson Supermarket dan Vientiane Center naik Loca (Grab/Gojek lokal). Kalau dulu saya pernah anti banget ke mall saat keluar negeri (masa’ jauh-jauh traveling, perginya ke mall lagi seperti di Jakarta?), tapi sekarang saya justru menikmati. Selain lebih nyaman kalau traveling sendiri dan bisa belanja barang-barang lokal murah tanpa nawar, di pusat perbelanjaan begini kita bisa melihat dan merasakan kehidupan sehari-hari orang lokal. Saat mengunjungi tempat baru, hal tak terduga selalu bisa terjadi di luar rencana, termasuk saat saya ngga sengaja nemu toko Miniso yang pernak-pernik Harry Potter nya masih buanyakkk dengan harga diskon. Kalau di Jakarta mah semua ini udah ludes dengan harga normal.
Esok harinya saya masih punya setengah hari sebelum terbang pulang ke Jakarta. Selain tetap ngurusin kerjaan kantor (karena hitungannya bukan libur yah), saya memiliki waktu untuk mengunjungi Pha That Luang Temple and Museum, yang ternyata areanya cukup besar, damai, tenang, dan cantik banget, termasuk Reclining Buddha. Di Vientiane, tiap beberapa meter pasti ada temple-nya, sama seperti mesjid di Jawa/Sumatera dan pura di Bali. Jadi ga afdol rasanya kalau ke Vientiane belum mampir ke salah satu temple-nya. Hampir semua temple disana terbuka untuk dikunjungi turis asal menggunakan pakaian sopan dan menghormati orang yang sedang berdoa. Saya selalu takjub dan salut melihat biksu Buddha di temple yang bisa hidup sederhana.

Ah, puas rasanya trip kali ini. Bonus masuk TV lokal pula, karena acara kami memang di-setting agar diliput oleh beberapa media disana. Gapapa deh kalo gada business trip ke Vientiane lagi haha, tapi next-nya pengen ke Luang Prabang, yang katanya cultural banget. Dari trip kedua ke Vientiane, saya sudah berminat untuk extend ke Luang Prabang, yang bisa dicapai dalam 2 jam dari Vientiane dengan high-speed train ala Whoosh. Tapi waktu itu saya punya agenda business trip lain seminggu setelahnya, jadi sepertinya akan terlalu capek dan akan membuat orang rumah ngomel-ngomel karena pergi muluk, haha. Untung juga ngga jadi extend, karena saya mulai ngga enak badan dan sakit tenggorokan menjelang akhir trip. Untuk kunjungan ketiga kali ini juga saya sempet mikir apa mau extend saja, mumpung ada libur Nyepi juga hari Jumat nya. Saya coba ngajak suami buat nemenin, tapi sebagai foodie sejati (beda dengan saya), dia ogah traveling di bulan Ramadan secara ngga bisa nyicipin makanan lokal. Lagian sekarang sudah aura-aura mau Lebaran. Ya sudahlah, maybe next time ya Luang Prabang.
Kop chai lai lai, Laos!
(P.S. Sudah lama saya ngga nge-blog, dan menulis travelog Bahasa Indonesia ini dalam perjalanan pulang saya dari Laos terasa sangat menyenangkan. Semoga bisa lebih rajin walaupun ngga banyak yang baca.)